APA YANG MEMICU KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN?
Oleh Djalaludin Puluhulawa, M.Pd
Guru Berprestasi Tingkat Provinsi Tahun 2009
Tindak kekerasan tak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak bisa ditampik, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindak kekerasan. Akhir 1997, di salah satu SDN Pati, seorang ibu guru kelas IV menghukum murid-murid yang tidak mengerjakan PR dengan menusukkan paku yang dipanaskan ke tangan siswa. Di Surabaya, seorang guru oleh raga menghukum lari seorang siswa yang terlambat datang beberapa kali putaran. Tapi karena fisiknya lemah, pelajar tersebut tewas. Dalam periode yang yang tidak berselang lama, seorang guru SD Lubuk Gaung, Bengkalis, Riau, menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam kondisi telanjang bulat. Bulan Maret 2002 yang lalu, terjadi pula seorang pembina pramuka bertindak asusila terhadap siswinya saat acara camping. Bahkan belum lama di Gorontalo kita dengar seorang guru SMK menampar muridnya dengan cara yang tidak wajar. Selain tersebut di atas, banyak lagi kasus kekerasan pendidikan masih melembari wajah pendidikan kita.
Dalam melihat fenomena ini, beberapa analisa dapat diajukan tentang apa yang memicu terjadinya kekerasan dalam pendidikan:
pertama, kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Jadi, ada pihak yang melanggar dan pihak yang memberi sanksi. Bila sanksi melebihi batas atau tidak sesuai dengan kondisi pelanggaran, maka terjadilah apa yang disebut dengan tindak kekerasan. Sebagai contoh adalah tawuran antarpelajar atau mahasiswa. Selain itu, kekerasan dalam pendidikan tidak selamanya fisik, melainkan bisa berbentuk pelanggaran atas kode etik dan tata tertib sekolah. Misalnya, siswa mbolos sekolah dan pergi jalan-jalan ke tempat hiburan.
Kedua, kekerasan dalam pendidikan bisa diakibatkan oleh buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan.
Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan.
Keempat, kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas. Dan, kelima, kekerasan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku.
Kelima, kekerasan dapat di picu oleh ketidakmapuan guru dalam mendidik dan membelajarkan peserta didik. Sebagai contoh guru yang hebat mengajar akan tetapi tidak mampu mengendalikan emosi pada saat anak didiknya melakukan kegaduhan dikelas sehingga pada saat memberikan sangsi yang tidak tepat dapat merubah situasi belajar yang baik menjadi situasi yang mencekam dan dipenuhi oleh rasa takut yang mendalam.
Kasus perilaku kekerasan dalam pendidikan juga bervariasi: pertama, kategori ringan, langsung selesai di tempat dan tidak menimbulkan kekerasan susulan atau aksi balas dendam oleh si korban. Untuk kekerasan dalam klasifikasi ini perlu dilihat terlebih dahulu, apakah kasusnya selesai secara intern di sekolah dan tidak diekspos oleh media massa ataukah tidak selesai dan diekspos oleh media massa. Kedua, kategori sedang namun tetap diselesaikan oleh pihak sekolah dengan bantuan aparat, dan ketiga, kategori berat yang terjadi di luar sekolah dan mengarah pada tindak kriminal serta ditangani oleh aparat kepolisian atau pengadilan. Umumnya kasus perilaku kekerasan kategori ringan dan sedang ini terjadi di lingkup sekolah, masih berada dalam jam sekolah/ kuliah dan membawa atribut sekolah.
BAGAIMANA CARA MENGATASI KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN?
Pendidikan bukan hanya memberikan keleluasaan terhadap pengabdian spiritual, melainkan yang lebih penting lagi harus memungkinkan terselesaikannya berbagai peristiwa tragis kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan, teror, radikalisme, keterbelakangan, dan permasalahan lingkungan. Agar wacana kemanusiaan tanpa kekerasan tetap dikedepankan dalam pendidikan, kurikulum harus menyajikan materi yang memungkinkan bagi tumbuhnya sikap kritis bagi peserta didik.
Bagaimana agar kekerasan ini tidak terjadi?
Pertama, Mari kita perbaiki kebijakan dan sistim pendidikan yang berkenaan dengan pola pendidikan yang hanya mengutamkan kualitas kognitif dan sering melupakan pembinaan sikap dan mental para siswa. Memberikan apersiasi sangat berpengaruh positif pada anak didik untuk menanamkan nilai moral spiritual sehingga dapat menciptakan suasana pendidikan yang normative dan sesuai dengan pola-pola dasar pendidikan yang benar.
Kedua, Kita harus melakukan pembenahan kepada unsur-unsur pendidikan dalam rangka pelaksanaan pendidikan baik kepala sekolah,guru,orang tua,masyarakat untuk lebih melihat kedepan tentang apa yang selama ini kita cita-citakan dalam pendidikan. Guru harus mampu menguasai empat kopetensi yang dipersyaratkan pada guru professional agar tidak hanya mampu mengajar dengan baik akan tetapi mampu membimbing,mendidik dan membina siswa dalam melakukan tindakan-tindakan sesuai norma,hukum yang baik.
Ketiga, Kita mesti membatasi penayangan-penayangan kekerasan yang dapat dilihat langsung oleh para masyarakan,siswa,guru, dan pelaku pendidikan agar tidak menimbulkan tumbuhnya budaya kekerasan yang secara perlahan akan masuk pada benak kita dan dapat menciptakan suatu budaya buruk dalam penanganan masalah pendidikan.
Tips khusus untuk guru:
Jika anak siswa melakukan pelanggaran, kita harus mengetahui latarbelakang, sebab akibat dan “berikan tindakan tegas yang mendidik”, jangan memberikan sanksi atau hukuman tapi yakinkan bahwa bahwa apa yang dia lakukan itu salah dan berikan penguatan yang tegas terhadap kesalahan yang dilakukan serta buat suatu komitmen positif untuk merubah prilakunya. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat . Dj_poel
Currently have 0 komentar: