MENGGAGAS UJI KELAYAKAN MENGAJAR
Uji Kompetensi melalui penilaian portofolio maupun diklat bagi guru sebagai implementasi pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 2005 yang dikemas dalam program sertifikasi guru, nampaknya dinilai belum sepenuhnya mampu mengakomodir lahirnya guru yang benar-benar memiliki kompetensi mengajar di depan kelas.
Penilaian ini kemudian melahirkan sebuah gagasan baru agar pemerintah pusat atau pemerintah daerah kedepan perlu mempertimbangkan adanya program Uji Kelayakan Mengajar dan mendidik bagi guru di semua jenjang pendidikan. Uji kelayakan ini menurut beberapa sumber yang dihubungi, bukan sebagai bentuk penolakan atau sikap keragu-raguan terhadap efektifitas program sertifikasi guru, melainkan diyakini dapat memberikan penguatan terhadap program sertifikasi guru sehingga mempercepat peningkatan kualitas pendidikan.
Gagasan ini patut mendapat apresiasi karena lahir dari semangat guna membenahi, memperbaiki dan mereform sistem rekrutmen guru yang berdiri di depan kelas. Semangat ini juga berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi pendidikan yang dari tahun ke tahun kian menyedot anggaran yang demikian besar, sementara kualitas dari out put pendidikan “jalan di tempat”. Yang lebih menyedihkan lagi, pendidikan kita ternyata selama ini lebih banyak melahirkan “manusia-manusia yang rapuh”, yang secara sadar, terus menerus dan dari generasi ke generasi medekonstruksi nilai-nilai luhur yang kini populasinya sudah merebak di hampir seluruh elemen, baik sebagai masyarakat biasa maupun sebagai pejabat, PNS, Pengusaha, Politisi, Praktisi yang secara berjamaah mempecundangi negeri ini dalam bentuk KKN, manipulasi, praktek markup dan sebagainya.
Selain fakta tersebut diatas, pentingnya uji kelayakan mengajar dan mendidik atau uji kelayakan sebagai pendidik ini adalah sebagai wadah untuk menyaring atau memfilter “bongkahan-bongkahan virus” yang menjadi sumber resistensi program peningkatan kualitas pendidikan. Artinya guru di Indonesia saat ini yang jumlahnya kurang lebih telah mencapai 2,6 juta orang, 20.000 diantaranya berada di jazirah Gorontalo dapat difilter lagi hingga hanya berjumlah sekian juta atau sekian ribu tapi benar-benar berkualitas. Meminjam istilah lebih baik memiliki 1 liter kacang tapi menghasilkan benih yang unggul dari pada 1 karung tapi hanya menghasilkan benih yang kerdil.
Pentingnya filterisasi guru melalui uji kelayakan ini juga diilhami oleh fakta sejarah yang memprihatinkan, dimana guru dalam rentang waktu yang sangat panjang termasuk profesi yang “dimarginalkan” terutama dari segi penghasilan atau gaji yang sangat-sangat kecil. Akibatnya, SDM yang unggul secara intelektual, emosional dan spiritual sangat jarang melirik profesi ini. Selain itu, minimnya formasi atau lowongan di bidang profesi lain menyebabkan profesi guru menjadi sebuah pelarian.”Dari pada nganggur lebib baik menjadi guru”. Dalam kondisi seperti ini, profesi guru akhirnya disesaki oleh mereka yang tidak memiliki keterpanggilan sebagai pendidik atau menjadi tempat yang “aman” bagi mereka yang secara kualitas tidak terterima di bidang profesi lain yang menuntut sebuah keunggulan skill, intelektual, emosional dan spiritual.
Dengan demikian, gagasan uji kelayakan mengajar dan mendidik menjadi sebuah terobosan baru dan harapan baru untuk meningkatkan mutu pendidikan. Melalui uji kelayakan mengajar ini dapat dipilah dan dipilih kembali mana guru sejati, mana guru yang sekedar guru dan mana guru yang motifnya jauh dari sebuah idealisme sebagai pendidik.
Konsekwensinya, jika ada guru yang ternyata dinilai tidak layak mengajar di semua jenjang pendidikan maka ia harus “ikhlas” untuk minggir dari kelas dan menjadi tenaga adminstrasi di berbagai instansi pemerintah. Kelak posisinya akan digantikan oleh SDM yang unggul yang memang memiliki keterpanggilan sebagai seorang pendidik.
Lantas, bagaimana mekanisme dan sistem pelaksanaan Uji kelayakan mengajar ini?, tentu semua itu dapat dimanifestasikan melalui berbagai analisa, kajian dan pendekatan komprehensif yang sarat dengan konsep-konsep strategi pengembangan pendidikan yang berkualitas. (Ali Mobiliu).
saya setuju diciptakan uji kelayaan mengajar guru yang menerima tunjangan sertifikasi, jika tidak layak maka hentikan tunjangan guru tersebut.
mekanismenya penilaian kelayaan tersebut melibatkan komponen:
1. LPMP
2. Diknas/kota/kab/prop
3. Komite sekolah
4. Siswa