Menggagas Sertifikasi Profesi Wartawan
Oleh : Ali Mobiliu
Redaktur Haria Suara Publik
Wartawan adalah sebuah profesi yang dijamin oleh Undang-Undang. Wartawan merupakan salah satu bagian terpenting dari unsur Pers atau media massa yang dalam tataran kenegaraan dan kebangsaan masuk dalam pilar ke – empat demokrasi setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Meski termasuk dan disejajarkan perannya sama dengan pilar penyelenggara Negara lainnya, namun dalam realitasnya pers hanya diposisikan sebagai mitra yang harus mandiri, independen dan memikirkan nasibnya sendiri dalam beraktifitas mengamati, menyorot, memantau, menganalisa, menerjemahkan setiap peristiwa, kejadian, kebijakan, dan berbagai aspek lainnya yang harus diwartakan kepada masyarakat.
Demikian juga dalam tataran kebijakan Negara, wartawan mendapat perlakuan yang berbeda dari profesi-profesi lainnya seperti Guru, Dosen, Polisi, Dokter, Hakim maupun Jaksa. Dengan kata lain, Pemerintah hanya menuntut, mewajibkan, dan membebankan berbagai tugas dan tanggung jawab yang berat ke pundak insan pers, tanpa diikuti oleh kebijakan memberikan hak – hak selain hak memperoleh perlindungan dan jaminan kebebasan dalam berekspresi.
Perlakuan seperti ini akhirnya membawa implikasi terhadap eksistensi profesi yang dalam realitasnya melahirkan dua karakteristik wartawan yakni wartawan sejati dan wartawan jadi-jadian.
Wartawan sejati adalah mereka yang memiliki keterampilan kewartawanan minimal mampu menulis berita dengan baik dan benar sesuai kaidah-kaidah jurnalistik, memahami kode etik Wartawan, memiliki kompetensi jurnalistik,kompetensi sosial, kompetensi legalistik, dan memiliki kompetensi kepribadian yang diwujudkan melalui sikap idealismenya yang selalu obyektif dalam memandang setiap persoalan di masyarakat.
Selain itu wartawan sejati adalah mereka yang konsisten menjalani profesinya dengan tulus, ikhlas dan mampu memberikan solusi terhadap setiap persoalan yang dikritisi, bekerja dan berkarya di media masa yang eksis dan jelas, dikenal oleh masyarakat, diapresiasi oleh publik dan terbit secara rutin bagi media cetak.
Kelompok yang kedua adalah Wartawan Jadi-jadian. Wartawan jenis ini adalah kebalikan dari wartawan sejati, tidak memiliki kemampuan menulis berita dengan baik serta tidak memiliki media yang jelas. Jika dirunut ciri khas wartawan jadi-jadian ini diantaranya, ketika berhadapan dengan nara sumber ia hanya mencari-cari kesalahan orang lain, tiba-tiba datang dan muncul ketika ada event atau perhelatan yang ditengarai ada uang duduknya, menjadikan kartu pers sebagai senjata ampuh untuk mencari kesalahan orang lain, menginterogasi, mengancam, menodong dan memeras narasumber, Yang jelas wartawan Jadi-jadian ini dalam praketknya terus saja beraksi medekonstruksi wibawa profesi wartawan.
Munculnya wartawan jadi-jadian ini dipicu oleh dua kemungkinan yakni profesi wartawan hanya dijadikan sebagai sebuah pelarian dan atau kemungkinan lainnya menjadikan profesi ini sebagai batu loncatan. Menjadi pelarian karena wartawan merupakan satu-satunya profesi yang dianggap paling mudah ketika dilakoni dan terbuka peluang untuk mendapatkan penghasilan. Apalagi di era reformasi saat ini yang memberi ruang gerak yang sebebas-bebasnya bagi setiap warga untuk menerbitkan media masa khususnya Tabloid.
Tidak heran jika banyak yang bermunculan seorang penjual obat di pasar-pasar tradisional tiba-tiba mengklaim diri sebagai wartawan dan dengan percaya diri ketemu dengan pejabat tertentu. Ada juga yang berprofesi buruh di pelabuhan, tapi tiba-tiba dengan membawa satu eksemplar tabloid berani mengaku wartawan dihadapan pejabat tertentu. Bagi mereka yang menjadikan profesi wartawan sebagai pelarian menjadikan pejabat sebagai sasaran pemberitaan, ia enggan memperjuangkan kepentingan masyarakat luas apalagi jika itu menyangkut kepentingan rakyat marginal. Meskipun memiliki naluri kritis dengan menyoroti persoalan – persoalan kemasyarakatan namun motifnya lebih kearah materi. yakni menjadikan proyek bermasalah misalnya sebagai senjata ampuh untuk memeras sang pemilik proyek. Wartawan seperti ini biasanya sangat rajin mangkal di Dinas Pekerjaan Umum, dan di instansi-instansi basah lainnya. Secara fisik dan pengalaman selama ini ciri khas mereka yang menjadikan wartawan sebagai pelarian dan alternatif mencari nafkah ini biasanya berusia 40-60 tahun, umumnya membawa tabloid yang sudah kumal karena terbit 6-7 bulan lalu, atau membawa tabloid nasional yang juga sudah usang materi beritanya. Dari segi penampilan ia tidak seperti wartawan pada umumnya yang membawa ransel dengan sepatu catsnya melainkan mengenakkan baju yang necis seperti sales atau eksekutif dengan sepatu yang mengkilap. Ketika berhadapan dengan ajudan atau sespri pejabat yang agak disiplin dan keras, ia tidak jarang main ancam dengan kata-kata yang tidak mencerminkan sebagai seorang wartawan.
Profesi wartawan disebut sebagai batu loncatan karena profesi ini dipandang memiliki peluang yang besar bertemu dengan pejabat-pejabat dan pengambil kebijakan. Ia melakoni pekerjaan wartawan sembari menunggu peluang menjadi PNS atau Kontraktor misalnya. Namun wartawan jenis ini masih dapat ditolerir jika ia suatu saat benar-benar berusaha dan berupaya keras memperbaiki performancenya sebagai wartawan misalnya dengan melatih kemampuannya dalam menulis, belajar menyesuaikan diri sebagai seorang professional dan taat terhadap kode etik profesi.
Itulah sedikit gambaran tentang kondisi kewartawanan terutama wartawan media cetak dan lebih spesifik lagi media yang berwujud Tabloid di Gorontalo yang kedepan perlu dibenahi dan ditata keberadaannya.
Untuk itu kedepan perlu ada sebuah gagasan, bagaimana membatasi ruang gerak mereka yang mencari jalan pintas mendapatkan keuntungan pribadi dengan mendompleng profesi kewartawanan
Selama ini memang telah ada ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang keberadaaan wartawan, namun hal itu masih sebatas perangkat peraturan yang mengatur dan memberi doktrin terhadap hak dan kewajiban wartawan tanpa diikuti oleh konsekwensi-konsekwensi dan indikator-indikator yang jelas terhadap siapa yang layak disebut wartawan atau tidak. Demikian pula dengan pejabat dan masyarakat pada umumnya banyak yang tidak dapat membedakan secara jelas, mana wartawan yang asli, berkompetensi dan profesional dan mana wartawan jadi-jadian dan tidak professional.
Oleh karena itu kedepan harus ada standarisasi profesi wartawan melalui program sertifikasi profesi wartawan.Dengan sertifikasi profesi ini maka seorang wartawan harus memegang lisensi atau sertifikat profesi sebagai bukti pengakuan yang otentik, resmi dan legal atas profesinya sebagai seorang waratwan. Sertifikat Profesi ini diperoleh melalui Uji Kompetensi profesi. Dengan sistem ini maka kedepan seseorang yang ingin menjadi wartawan harus terlebih dahulu mengikuti seleksi yang cukup ketat melalui Uji Kompetensi Wartawan yang dilakukan oleh sebuah lembaga resmi yang khusus melakukan proses rekrutmen wartawan.
Program sertifikasi profesi wartawan ini layak dan memungkinkan untuk dilaksanakan karena profesi-profesi lainnya seperti para Dokter ahli, Guru, dan para professional lainnya telah lama menerapkan program sertifikasi profesi sebagai pengakuan terhadap kemampun dan kompetensi mereka dalam suatu bidang tugas dan keahlian tertentu. Malah dalam dunia industri dan pertanian pun banyak produk-produk yang sudah tersertifikasi sebagai bukti otentik bahwa produk itu unggul dan berkualitas.
Lantas bagaimana proses, mekanisme, prosedur, persyaratan dan sistem sertifikasi profesi wartawan maupun uji kompetensi profesi wartawan ini dilaksanakan, siapa atau lembaga mana yang berwenang melakukan proses rekrutmen ini? Tentu semua itu dapat dibahas lebih lanjut melalui pengkajian secara lebih mendalam sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan harus melibatkan seluruh komponen mulai dari Dewan Pers, organisasi wartawan, Pemerintah, Lembaga Legislatif, akademisi, praktisi dan dari kalangan professional lainnya. Program sertifikasi profesi wartawan tidak harus dilaksanakan secara nasional menunggu revisi UU Pers melainkan dapat dilaksanakan di tingkat Provinsi dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan yang ada. Sertifikasi profesi wartawan juga dapat dipandang sebagai implementasi dan penjabaran ketentuan Undang-undang yang mengatakan bahwa wartawan adalah seorang profesional yang memiliki kompetensi dan keahlian di bidang jurnalistik. Itulah yang mungkin dapat dijadikan landasan yuridis ketika program ini digagas dan hendak diwujudkan.
Yang jelas, setiap wartawan yang saat ini telah menekuni profesinya di berbagai media cetak dan elektronik yang eksis atau mereka yang baru lulus dari sebuah lembaga pendidikan dapat mengikuti program sertifikasi profesi wartawan yang dapat dilakukan sesuai waktu dan ketentuan yang kelak disepakati. .
Bagi mereka yang dinyatakan lulus uji kompetensi akan mendapatkan sertifikat profesi wartawan dan daftar nama-nama wartawan yang telah bersertifikat tersebut kemudian disebarkan, diumumkan, disosialisasikan secara luas dan menyeluruh kepada lembaga-lembaga pemerintah dan swasta, badan dan instansi, Ormas, orpol, LSM, hingga ke pelosok-pelosok desa. Hal ini dimaksudkan agar seluruh elemen di masyarakat dapat mengetahui siapa saja wartawan professional yang layak dilayani dan direspon ketika datang dan mengkonfirmasi sesutu persoalan.
Dengan sistem seperti ini, maka masyarakat, pejabat dan instansi pemerintah maupun swasta memiliki acuan yang jelas dalam melayani, merespon atau memberi suatu informasi yang layak diketahui publik. Jika suatu saat ada oknum yang datang menghadap dan mengaku sebagai wartawan dan setelah diteliti namanya tidak ada dalam daftar wartawan professional dan bersertifikat, maka yang bersangkutan tidak wajib dilayani dan kalau perlu oknum itu segera dilaporkan ke pihak yang berwajib sebagai wartawan gadungan yang harus menerima konsekwensi hukum.
Tugas seorang wartawan sungguh sangat berat, ia tidak hanya dituntut professional dan memiliki kompetensi di bidang jurnalistik tapi juga diperhadapkan pada situasi yang tidak menentu dengan jam kerja yang tidak teratur dan dalam melaksanakan kegiatan jurnalistiknya ia tidak jarang menghadapi tekanan dan bahkan ancaman fisik dan non fisik. Buktinya selama ini telah banyak kasus wartawan yang disiksa, dianiaya, diintimidasi dan bahkan dibunuh.
Realitas ini mengindikasikan bahwa untuk menjadi seorang wartawan membutuhkan tekad, komitmen yang disertai oleh kesiapan mental dan fisik menghadapi berbagai konsekwensi atas pekerjaannya sebagai pewarta yang harus mengolah berbagai peristiwa maupun kejadian yang mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat, mengungkap kebathilan dan berpihak pada kebenaran.
Oleh karena itu sertifikasi profesi wartawan tidak hanya membatasi ruang gerak mereka yang mendompleng profesi kewartawanan tapi juga merupakan upaya strategis untuk mengangkat wibawa, harkat dan martabat wartawan agar lebih disegani, dihargai dan dihormati yang pada akhirnya akan berdampak pada kualitas output jurnalistik.
Idealnya, profesi wartawan tidak hanya mewartakan berbagai informasi kepada masyarakat tapi lebih dari itu, setiap karya-karyanya diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi dan referensi, serta mampu mendobrak berbagai sumbatan-sumbatan yang menghambat terwujudnya sebuah kemajuan dan keadilan.
Untuk lebih mengangkat, dan mengoptimalkan perannya yang demikian strategis tersebut maka sudah saatnya seluruh elemen wartawan menyatukan diri dalam kebersamaan, rasa senasib dan sepenanggungan untuk duduk bersama mereaktualisasikan kembali eksistensi dan keberadaannya sebagai insan-insan pers sehingga melahirkan berbagai ide, gagasan, dan konsep konstruktif bagi peningkatan profesionalisme wartawan.
Kesadaran kolektif untuk membangun kebersamaan tersebut sangat penting, apalagi bagi wartawan yang ada di daerah-daerah. Dalam konteks kepentingan mewujudkan program sertifikasi profesi wartawan di daerah Gorontalo misalnya tidak ada ruang sedikitpun untuk mempersoalkannya karena berbagai instrument pendukungnya sudah ada dan cukup memadai untuk menunjang terealisasinya program ini. Persoalannya sekarang, bersediakan seluruh organisasi kewartawanan beserta anggota-anggotanya untuk bersatu dan duduk bersama membahas berbagai strategi mewujudkan program sertifikasi profesi wartawan ini?.
Khusus untuk Provinsi Gorontalo, program sertifikasi profesi wartawan ini selayaknya dipandang sebagai sebuah gagasan dan terobosan untuk kemudian diperjuangkan secara bersama-sama melalui mekanisme yang terkoordinasi yang dilandasi oleh semangat kebersamaan dan saling menghargai satu dengan yang lainnya.
Untuk lebih memahami program sertifikasi profesi wartawan, maka dibawah ini diuraikan rumusan teknis dan mekanisme yang mungkin dapat dijajaki sebagai ide awal yang diharapkan dapat menjadi inspirasi dalam menemukan solusi yang terbaik dalam mewujudkan program sertifikasi profesi di masa-masa mendatang.
Langkah penting untuk memulai gagasan ini adalah komitmen dan kesediaan seluruh pengurus organisasi wartawan yang ada di Gorontalo untuk duduk bersama membahas langkah-langkah yang akan diambil untuk kemudian disosialisasikan dan diperjuangkan. Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) diharapkan menjadi pelopor terwujudnya program ini minimal mengambil inisiatif mengumpulkan seluruh pengurus organisasi kewartawanan di Gorontalo untuk melakukan pertemuaan sebagai langkah awal konsolidasi menyatukan seluruh wartawan yang ada di Gorontalo.
Moment berkumpulnya seluruh pengurus organisasi wartawan ini kelak diharapkan dapat melahirkan sebuaah organisasi atau forum yang menjadi wadah merealisasikan program sertifikasi profesi wartawan dan bila memungkinkan forum yang akan dibentuk ini juga berperan menjalankan kegiatan pendidikan dan pelatihan SDM Wartawan. Organisasi ini bisa saja dinamai Lembaga Sertifikasi dan Diklat Profesi Wartawan (LSDPW) Provinsi Gorontalo atau apapun namanya tergantung hasil musyawarah dan mufakat pengurus organisasi wartawan di daerah ini. Demikian pula dengan personil yang akan duduk di lembaga ini tentu dapat dibahas lebih lanjut. Namun lebih bagus lagi jika lembaga ini tidak hanya mengakomodir wartawan-wartawan senior tapi juga akademisi dan praktisi hukum.
Yang jelas forum atau lembaga ini memiliki tugas, fungsi dan kewenangan yakni Pertama, merumuskan program kerja, mekanisme, prosedur dan ketentuan-ketentuan lainnya termasuk visi-misi lembaga. Kedua, menyelenggarakan Uji Kompetensi Wartawan, Ketiga, menerbitkan Sertifikat bagi wartawan yang dinyatakan lulus uji kompetensi wartawan, Ke-empat mensosialisasikan, mendistribusikan dan menyebarkan informasi daftar nama-nama wartawan yang bersertfikat kepada seluruh lembaga, badan dan instansi pemerintah dan swasta serta berbagai komponen masyarakat lainnya. Kelima, menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan bagi calon wartawan serta menjadi sebuah lembaga riset dan pengembangan profesi wartawan. Forum ini juga dapat berfungsi sebagai dewan kehormatan wartawan yang mengawasi, memediasi dan memperjuangkan nasib wartawan sekaligus diberikan kewenangan untuk menarik atau membatalkan sertifikat wartawan jika dikemudian hari ada wartawan yang melanggar ketentuan dan kode etik wartawan.
Jika program sertifikasi profesi wartawan ini benar-benar terwujud di daerah ini, maka Provinsi Gorontalo akan dicatat sebagai pencetus program ini yang diyakini bakal menjadi pilot project pelaksanaan sertifikasi profesi wartawan di seluruh Indonesia. Program sertifikasi profesi wartawan lebih baik hanya berada di tingkat Provinsi dan keberadaannya sama sekali tidak mengganggu atau mengeliminir tugas, fungsi dan wewenang Dewan Pers yang ada di tingkat pusat. (***)
Currently have 0 komentar: