Sekolah, Asal Usulmu Oleh : Bahtiar, S.Pd, Guru SMA Negeri 1 Gorontalo
Ketika mendengar kata “sekolah” kita membayangkan suatu tempat dimana orang-orang melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Kata itu umumnya memang mengacu pada suatu sistem, suatu organisasi besar, dengan segenap kelengkapan perangkatnya seperti sejumlah orang yang belajar, atau yang mengajar, sejumlah bangunan gedung, secukupnya peralatan yang disebut media, serangkaian kegiatan jadwal, selingkup aturan, dan sebagainya dan seterusnya.
Kata sekolah pada mulanya adalah skhole, scola, scolae, atau scola (Latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Nah, apa dulunya tak terjadi kekeliruan pada Si John atau Si Jack, yang menyebut kata itu dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan school, yakni asal mula kata sekolah dalam bahasa kita sekarang?
Sebenarnya, tak ada yang keliru. Pangkal permasalahannya bisa dilacak kembali jauh ke belakang ke zaman Yunani Kuno, zaman tempat asal-muasal kata tersebut. kita ikuti kisahnya:
Seorang Yunani “tempoe doeloe” (baca tempo dulu) biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ihwal yang mereka rasakan memang perlu ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan istilah skhola, scola, scolae atau schola. keempatnya mempunyai arti sama: “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar” (leisure devoted to learning). Lama kelamaan, kebiasaan mengisi waktu luang mepelajari sesuatu itu akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebiasaan kaum lelaki dewasa atau ayah dalam susunan keluarga di masyarakat Yunani Kuno. Kebiasaan ini juga kemudian diberlakukan bagi para putra-putri mereka, terutama laki-laki, yang diharapkan nantinya dapat mengganti sang ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya. Karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya pada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat tertentu, biasanya orang dan tempat dimana mereka juga dulunya pernah ber-skhola. Di tempat itulah anak-anak itu bermain dan berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap memang patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya.
Sejak saat itulah telah beralih berbagai fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), ini merupakan proses dan lembaga bersosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah sebabnya, mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian biasa disebut “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan ilmu” (alma mater).
Waktu terus berlalu, zaman telah berganti, para orang tua makin terbiasa mempercayakan pengasuhan putra-putri mereka kepada orang-orang pandai atau lembaga-lembaga pengasuhan pengganti mereka di luar rumah dalam jangka waktu yang semakin lama semakin teratur pula. Karena makin banyak anak yang harus diasuh, maka mulai pula diperlukan lebih banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untuk mengasuh anak-anak di suatu tempat tertentu yang telah disediakan, dengan peraturan yang lebih tertib dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak itu.
Adalah seorang John Amos Comenius, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap sebagai fons et origo nya ilmu pendidikan (tepatnya teori pengajaran), melontarkan gagasan pelembagaan pola dan proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis dan metodis, terutama karena memang adanya keragaman latarbelakang dan proses perkembangan anak-anak asuhan tersebut yang memerlukan penanganan khusus.
Melanjutkan tradisi Comenius, adalah seorang yang berkebangsaan Swiss, bernama Johann Heinrich Pestalozzi, pada abad -18, tampil dengan gagasan yang lebih rincih. orang ini melangkah lebih jauh dengan mengatur pengelompokan anak-anak asuhnya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian yang kita kenal dengan istilah “pelajaran”) yang harus mereka lalui secara bertahap. Juga pengaturan tentang cara-cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan menurut batasan-batasan khas pada setiap batasan hhas yang berlaku. Upaya kemudia yang dikenal dengan nama “Sistem Klasikal Pestalozzi” ini akhirnya menjadi cikal bakal pola pengajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal sekarang dengan penjenjangan kelas dan tingkatannya.
Sebegitu jauhkah pengaruh schole nya masyarakat Yunani Kuno sehingga menjadi suatu tradisi mendunia dengan berbagai keragaman bentuk dan perkembangan dan penyusuainnya di berbagai tempat. Orang-orang Yunani Kuno bukanlah satu-satunya bangsa yang memulai tradisi sekolah. Konon, bahkan sebelum Socrates dan Plato muridnya, menyelenggarakan academia atau lyceum di Athena, bangsa Cina Purba kabarnya juga sudah memulainya pada 2000 tahun sebelum Nabi Isa lahir.
Pun, nenek moyang kita di Nusantara memiliki tradisi serupa yang mewarisi dari tradisi anak benua India dan kemudian juga dari tradisi jazirah Arab. Tetapi untuk menjelaskan pengertian sekolah seperti yang kita ketahui dan kenal sekarang dalam bentuk umumnya maka akar keberadaan dan alur kesejarahannya yang berpangkal pada zaman dan tradisi Yunani Kuno. kemudian yang kita warisi sekarang ini adalah tradisi sekolah kolonial, berkat politik balas-budi (etische Politie) kaum sosialis-humanis, Belanda dan Inggris, kala itu.
Ah, kalau begitu, mudah saja sekolah yang semula hanya berararti pengisian waktu luang dan kini telah berwujud menjadi sebuah sistem kelembangaan pendidikan yang kadang kala dan celakanya sekaligus, berarti sebagai wujud hakekat pendidikan itu sendiri. Kata ini memang mestinya dipahami dalam konteks kesejarahannya sebagai bagian dari keseluruhan perkembangan peradaban umat manusia dimana lembaga ini mewujudkan diri.
Nah, sekarang apakah kita akan memahami hakekat sekolah sebagai wujud dari kesejarahannya untuk diri kita sebagai bagian yang hanya mengisi waktu luang saja atau kita memahaminya sebagai lembaga yang akan memahamkan individu untuk sebuah lembaga penyadaran secara total. hal ini, saya serahkan ke pembaca, pendidik, pelajar, orang tua dan masyarakat atau ke lembaga yang terkait dengan kebijakan mengenai pendidikan dan sekolah.(***)
Currently have 0 komentar: